Khalwa ke Desa Kaddabas, Pinggiran Negeri Sudan

Kabut pagi membentang Di pelataran bumi Khartoum. Suara bising kendaraan masih hening terdengar, hanya segelintir motor dan Reksa  serta beberapa bis malam yang melewati jalan utama Obeid Khotim. Rombongan kecil di dalam satu bis merangsak maju menuju terminal. Di sana telah menunggu jejeran bis-bis besar yang siap mengantarkan para penumpang menuju destinasinya masing-masing. Barber barber berteriak seorang paruh baya sambil menunjuk-nunjuk jarinya pada salah satu bis besar. Lalu rombongan kecil itu pun memasuki bis yang yang ditunjukkan orang paruh baya tersebut sambil membawa secarik tiket bis yang sudah mereka pesan sebelumnya. Ya Barber adalah salah satu wilayah di utara Sudan sekitar 7 jam dari kota khartoum. Tanahnya yang berwarna coklat keemasan bertebaran di sekeliling jalan menuju kota tersebut. Tidak banyak hambatan dan rintangan untuk bisa sampai ke kota tersebut. Karena akses jalannya yang lurus  dan tidak banyak tikungan hanya diperlukan kan keseimbangan dan kondisi badan yang Fit agar tetap stabil. Namun, sedikit kesulitan ketika sudah memasuki pelosok desa yang kami tuju.

Setelah hampir 6 jam jam menelusuri Gurun pasir dan juga bukit-bukit yang gersang terhampar hampir di seluruh wilayah utara Sudan. Akhirnya rombongan kecil itu diberhentikan di pinggir jalan, kami pun kaget, serta perasaan takut pun sempat terbesit  belum pernah menginjakkan tanah di sini sebelumnya. Lalu pimpinan rombongan yang sudah survei tempat ini sebelumnya menjelaskan bahwasanya kita haampir sampai pada tempat yang kita tuju. Namun kita harus menempuh akses jalan yang tidak bisa dilalui oleh bis sehingga harus mencari alternatif lain. Dan alternatif itu adalah dengan menyewa mobil bak terbuka untuk bisa melewati jalan kecil itu. Di tengah-tengah perjalanan menggunakan mobil bak terbuka, kami harus turun. Karena perjalanan terpotong oleh sungai Nil, sehingga harus menaiki perahu berukuran kecil yang bisa menampung sekitar 10 orang. Dan setelah setelah itu lanjutkan dengan mobil bak terbuka langsung bergegas Sampai lokasi tempat yang kita tuju.

Sebuah perjalanan yang telah ditempuh oleh rombongan kecil mengantarkan pada suatu tempat kedamaian karena di sanalah tempat berkumpulnya para pencari kedamaian hati dan juga jiwa. Setiap hari lantunan ayat suci Al-quran selalu didengungkan dan dilantunkan. Sambutan hangat dari penduduk sekitar membuat kami terharu, sehingga menghilangkan peluh keringat kami selama perjalanan. Mereka saling berjabat tangan dan bercengkrama kuat dengan kita layaknya sahabat dekat. Senyuman juga mereka lontarkan lengkap dengan sapaan khas Sudan, “Keif tamam?, keif umuur, miah-miah?”. Lalu, kami dibawa ke dalam ruang tamu khusus yang sudah mereka sediakan bagi para tamu yang datang dari jauh dan akan menginap di Khalwa tersebut.

Kelompok kecil itu nampaknya masih kelelahan dengan perjalanan yang menguras tenaga. Mereka merebahkan badan mereka pada sofa panjang dan juga karpet besar di ruang tamu, sambil meregangkan otot-otot yang keram. Lalu dari jauh terlihat tiga orang berbaju putih datang menghampiri kita sambil membawa dua tampah besar berisi gelas dan dan cerek berisi teh hangat. Dan tak lupa jamuan-jamuan khas Sudan turut mereka hidangkan. “Silahkan dinikmati hidangannya”, celetuk salah satu dari ketika orang tersebut. Kami pun langsung otomatis membuat halaqoh berbentuk bulat mengelilingi setiap nampan berisi makanan yang disajikan. Dengan lahapnya kami santap, tidak peduli cita rasanya yang penting bisa mengganjal perut yang sudah keroncongan yang sudah kami tahan selama perjalanan.

Satu demi satu para pengajar di Khalwa menyalami kami sekaligus memastikan keadaan kami. Kami pun menyambutnya dan menyalami balik serta memeluk mereka satu persatu tanda Ta’dhim kami kepada para pengajar yang nantinya akan menemani setoran hafalan kita. “Selamat datang di Khalwa desa Kaddabas, semoga kalian senantiasa dalam keadaan sehat. Kami disini insyaallah akan membimbing hafalan kalian untuk sebulan ke depan. Karena kalian masih capek, kami persilahkan untuk beristirahat sejenak. Setelah itu nanti akan kami ajak untuk bersilaturahim dengan Mursyid kami.”, sedikit perkenalan dari pembimbing hafalan Qur’an kami. Setelah istirahat sebentar, kami melaksanakan sholat asyar dan dilanjutkan sowan kepada Guru sekaligus Mursyid Syeikh Muhammad Khidir At-Tijani. Setiap dari kami menyalami dan mencium tangan beliau. Sosok beliau yang kami lihat sangat bersahaja, sehingga menjadi panutan bagi para jama’ah dan warga masyarakat sekitar. Dan beliau tidak banyak menyampaikan nasehat, hanya sepatah kata untuk kita, “Selamat datang, semoga kalian bisa menggapai tujuan kalian untuk Khalwa disini”. Setelah itu kami diajak untuk berkeliling makam para pendiri Khalwa seraya kami mendoakan mereka, agar amal jariah mereka diterima di sisi Allah SWT, serta keberkahan ilmunya bagi umat Islam.

Satu hari berlalu di desa Kaddabas, kami langsung memulai tujuan awal kita. Menghafal Al-Qur’an secara intensif untuk memanfaatkan liburan semester kuliah. Ini adalah satu tradisi dari Mahasiswa Indonesia di Sudan, ketika liburan semester tiba mereka akan mengembara ke suatu wilayah terpencil untuk bisa menghafal Al-Qur’an secara fokus tanpa ada hal-hal lain yang mengganggunya. Hafalan di malam hari yang sudah kita persiapakan akan disetorkan kepada pembimbing ketika pagi hari. Lalu, setelah itu kami harus mempersiapkan hafalan untuk kami setorkan di sore hari. Dan ini akan menjadi rutinitas harian kami selama 30 hari ke depan. Semangat dari para peserta Khalwa nampaknya masih terlihat jelas dari aura mukanya. Bahkan yang sudah punya hafalan sebelumnya dan ingin menyetor ulang hafalannya, rela untuk begadang sampai tengah malam agar bisa menyetor lebih banyak kepada para pembimbing.

Lima hari berjalan, mulai terlihat pemandangan yang berbeda dari para peserta.

“Azmi, akhir-akhir ini perut saya terasa mual, dan pusing kepala”, kata Aril.

“Mungkin itu adalah gejala masuk angin, kamu sih terlau memaksakan memperbanyak setoran, hingga harus begadang sampai larut malam”, Sahut Azmi.

“Kalau tidak saya paksakan, target saya tidak akan selesai, maka saya minta bantuan kamu. Tolong kerokin badan saya” Aril menimpali.

“Baik, tapi setelah saya korokin badan kamu, kamu jangan paksakann dirimu untuk begadang terlalu banyak. Beri porsi istirahat yang cukup untuk tubuhmu.”

“Siap!” Aril menyetujui tawaran dari Azmi.

Hari demi hari terus berjalan, disamping mereka menghafal Al-Qur’an mereka juga diajak untuk berbaur dengan masyarakat sekitar. Bahkan dalam acara rutinan seperti pembacaan Maulid Barzanji bersama para santri di Khalwa dan juga jalan-jalan sekitar desa dengan mengendarai Khimar atau keledai. Mereka sangat senang sekali bisa kedatangan tamu dari luar. Karena menurut mereka, kedatangan tamu dari luar Sudan adalah hal yang jarang dan bahkan menetap sampai waktu yang lama. Hingga perhatian mereka kepada kami sangat tinggi serta mengapresiasi, “Kalian luar biasa, jauh-jauh datang dari negeri seberang dengan tujuan mencari ilmu. Semoga langkah kalian diberkahi Allah SWT. Serta ilmu kalian bermanfaat di masyarakat kelak.” Berkata salah seorang penduduk desa.

Saat itu adalah musim pancaroba, yaitu peralihan dari musim dingin ke musim panas. Biasanya keadaan seperti ini ditandai dengan banyaknya nyamuk dan lalat yang bertebaran dimana-mana. Ini adalah salah satu ujian berat kami. Pada siang hari biasana lalat-lalat selalu berdatangan menggangu kami yang sedang asyik menghafal. Sehingga kami harus menutup rapat tubuh kami, bahkan kami mencoba cara yang agak konyol demi terhindar dari gangguan lalat, yaitu dengan membuat buletan sarung di kepala. Sesekali kami membakar Buhur agar asapnya bisa mengusir lalat-lalat yang bertebaran di sekitar ruangan. Dan ketika malam hari, kami harus sabar menerima serangan dari nyamuk-nyamuk yang haus darah. Sementara persediaan Soffel hanya sedikit. Terkadang kami tidak bisa tidur, sehingga harus begadang hanya karena berjibaku melawan ganasnya nyamuk-nyamuk. Namun, bagi kami itu hanyalah bumbu penyemangat agar selalu konsisten dalam menghafal. Karena sebuah kesuksesan tidak akan diraih dengan mudah, melainkan dengan berbagai macam halangan dan rintangan.

Khalwa ke Desa Kaddabas, Pinggiran Negeri SudanDari sanalah, kami belajar tentang kesyukuran. Karena ternyata masih ada suatu wilayah yang berada jauh dari kota, namun mereka masih tetap memegang teguh keimanan dan ketaqwaan kepada Sang pencipta alam raya ini. Walau dengan segala keterbatasan fasilitas, sarana prasarana, dan  transportasi.

Leave a comment